Culture Shock
Gara-gara si Nukky ngobrolin tentang "Culture Shock", gw jadi dragged buat buka-buka lagi catatan. Tadinya gw kacau asosiasinya sama buku Alvin Toffler, "Future Shock" yang gw akrabi selama masa Tugas Akhir (FYI, Tugas Akhir gw emang bicara seputaran Studi Masa Depan). Tetapi ternyata "Culture Shock" samasekali beda. Culture Shock hampir pasti dialamin banyak orang, terutama yang sering bermigrasi. Gw dulu waktu kecil juga sering mengalami Culture Shock ketika sering berpindah-pindah ke satu tempat dan tempat yang lain.
***
Pada dasarnya, ketika kita bermigrasi, kita akan mendapati lingkungan yang practically beda dari lingkungan kita sebelumnya. Dalam hal itu, akan ada penyesuaian-penyesuaian dari kita sebagai makhluk sosial yang beradaptasi dengan lingkungan baru. Kalvero Oberg di tahun 1954 sudah menjelaskannya dengan beberapa tahapan "adaptasi" yang dirangkumnya menjadi tahapan "Culture Shock". Masing-masing tahapan tidak mempunyai patokan waktu yang tetap berapa lama setiap individu akan mengalaminya. Hal itu tergantung pada tingkat resistensi dan adaptasi.
Tahapan yang pertama dinamakan "Honeymoon Stage". Ini adalah tahapan ketika segalanya tampak begitu indah dan ideal. Kita menemukan kesenangan-kesenangan dari lingkungan baru kita, dan itu tampak menutupi segalanya. Euforia berperan besar di sini.
Tahapan yang kedua adalah follow up dari tahapan sebelumnya dimana sifat-sifat negatif mulai muncul. Apa yang tadinya tampak serba ideal mulai muncul menjadi realitas yang tidak semulus di bayangan kita. Sisi negatif lingkungan mulai berpengaruh, dan hal inilah fase terberat bagi seorang migran untuk beradaptasi. Bagi yang positif dan progresif bisa melangkah ke fase selanjutnya.
Tahapan selanjutnya (ketiga) adalah ketika kita bisa mengendalikan dan mengontrol diri. Apa yang negatif akhirnya menjadi balans dengan euforia yang kita temukan di awal. Di sini, "culture shock" bisa dikatakan telah hilang, dan lingkungan baru sudah berperan (practically) sebagai lingkungan origin-nya.
Dan tahapan siklis-nya adalah ketika kita kembali ke lingkungan sebelumnya, atau ke lingkungan lain, kita akan kembali beradaptasi dengan fase "culture shock" ini.
***
For somehow, teori itu applicable juga buat menyikapi hubungan antara dua orang, kaya pacaran atau berumah tangga.
***
Pada dasarnya, ketika kita bermigrasi, kita akan mendapati lingkungan yang practically beda dari lingkungan kita sebelumnya. Dalam hal itu, akan ada penyesuaian-penyesuaian dari kita sebagai makhluk sosial yang beradaptasi dengan lingkungan baru. Kalvero Oberg di tahun 1954 sudah menjelaskannya dengan beberapa tahapan "adaptasi" yang dirangkumnya menjadi tahapan "Culture Shock". Masing-masing tahapan tidak mempunyai patokan waktu yang tetap berapa lama setiap individu akan mengalaminya. Hal itu tergantung pada tingkat resistensi dan adaptasi.
Tahapan yang pertama dinamakan "Honeymoon Stage". Ini adalah tahapan ketika segalanya tampak begitu indah dan ideal. Kita menemukan kesenangan-kesenangan dari lingkungan baru kita, dan itu tampak menutupi segalanya. Euforia berperan besar di sini.
Tahapan yang kedua adalah follow up dari tahapan sebelumnya dimana sifat-sifat negatif mulai muncul. Apa yang tadinya tampak serba ideal mulai muncul menjadi realitas yang tidak semulus di bayangan kita. Sisi negatif lingkungan mulai berpengaruh, dan hal inilah fase terberat bagi seorang migran untuk beradaptasi. Bagi yang positif dan progresif bisa melangkah ke fase selanjutnya.
Tahapan selanjutnya (ketiga) adalah ketika kita bisa mengendalikan dan mengontrol diri. Apa yang negatif akhirnya menjadi balans dengan euforia yang kita temukan di awal. Di sini, "culture shock" bisa dikatakan telah hilang, dan lingkungan baru sudah berperan (practically) sebagai lingkungan origin-nya.
Dan tahapan siklis-nya adalah ketika kita kembali ke lingkungan sebelumnya, atau ke lingkungan lain, kita akan kembali beradaptasi dengan fase "culture shock" ini.
***
For somehow, teori itu applicable juga buat menyikapi hubungan antara dua orang, kaya pacaran atau berumah tangga.